Samarinda, Sketsa.id – Perubahan nomenklatur Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi Seleksi Peserta Didik Baru (SPMB) dinilai hanya bersifat kosmetik dan tidak menyentuh akar persoalan. Kritik tajam ini disampaikan Agusriansyah Ridwan, Anggota Komisi IV DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), yang menekankan pentingnya pemenuhan hak dasar pendidikan dan keadilan bagi seluruh warga negara.
“Penerimaan siswa baru ini semestinya bukan judulnya saja yang diganti. Dari panitia seleksi penerimaan siswa baru diubah menjadi SPMB, tapi tidak menyelesaikan persoalan substansi yang ada,” tegas Agusriansyah dalam pernyataannya, Selasa (10/6).
Agusriansyah mengingatkan dasar konstitusional pendidikan.
“Pertama, hierarki peraturan perundang-undangan menempatkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai struktur tertinggi. Di sana jelas termuat tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujarnya.
“Kedua, Pasal 31 UUD 1945 secara tegas mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, baik formal, non-formal, maupun informal. Inilah substansi yang seharusnya menjadi fokus, bukan sekadar membahas pola dan sistem penerimaan yang seringkali tidak menyentuh esensi.”
Politikus DPRD Kaltim ini juga menyoroti fleksibilitas yang seharusnya dimiliki daerah dalam mengimplementasikan regulasi pusat.
“Regulasi yang dikeluarkan Menteri Pendidikan bukan bahan baku kaku yang harus dilaksanakan sepenuhnya tanpa pertimbangan. Ada klausul hukum bahwa peraturan di bawah tidak boleh bertentangan dengan aturan di atasnya,” jelas Agusriansyah.
Ia menambahkan, jika implementasi kebijakan masih menimbulkan ketidakadilan dan ketidakmanusiawian, maka diperlukan turunan aturan daerah untuk memenuhi aspek keadilan, kemanusiaan, dan kearifan lokal (local wisdom).
“Kita tidak ingin persoalan seperti keterbatasan rombongan belajar (rombel) terus dijadikan dalih pembenar masalah ini berlarut-larut,” imbuhnya.
Sebagai solusi konkret, Agusriansyah mengusulkan dua langkah utama:
1. Peraturan Daerah Khusus: “Pertama, kita perlu membahas Peraturan Gubernur atau bahkan membuat Peraturan Daerah (Perda) khusus yang mengatur penerimaan siswa baru di Kaltim. Daerah kita perlu pendekatan sendiri berdasarkan situasi lokal dan kearifan setempat,” paparnya.
2. Pemerataan Sarana Prasarana dan Aksesibilitas: “Kedua, pemerintah harus mempercepat pembangunan sekolah representatif di seluruh Kaltim. Tujuannya agar peserta didik tidak lagi ‘memilih-milih’ sekolah karena semua sudah memiliki sarana-prasarana dan kualitas pendidikan yang setara,” tegas Agusriansyah.
Ia menekankan bahwa aksesibilitas kini bukan sekadar jarak geografis, tetapi juga ketersediaan fasilitas pendukung seperti jalan yang baik dan armada bus sekolah representatif (ber-AC dan lengkap).
“Fasilitas inilah yang harus segera diprioritaskan, bukan hanya berkutat pada sistem penerimaan yang tidak menyelesaikan masalah.”
Agusriansyah menutup dengan menegaskan pembagian peran yang lebih adil.
“Pemerintah pusat berwenang menetapkan sistem, tetapi pemerintah daerah yang memahami kondisi sarana-prasarana di lapangan secara persis. Indikator yang dibuat kementerian seringkali hanya cocok untuk perkotaan, padahal setiap wilayah berbeda dan memerlukan perlakuan khusus dalam penerimaan siswa,” pungkas anggota Komisi IV yang membidangi pendidikan tersebut.
Ia menyerukan kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan lokal demi terwujudnya keadilan pendidikan bagi seluruh anak di Kaltim. (Adv/DPRD Kaltim)