Beras Oplosan: Ancaman Tersembunyi di Piring Makan Kita

Foto: ilustrasi beras oplosan. (Ist)

Samarinda, Sketsa.id – Beras, sebagai makanan pokok mayoritas masyarakat Indonesia, tidak hanya menjadi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga simbol kedaulatan pangan. Namun, belakangan ini, munculnya praktik beras oplosan—campuran beras berkualitas rendah dengan bahan kimia atau beras sintetis—menjadi ancaman serius bagi kesehatan dan kepercayaan konsumen.

Fenomena ini bukan sekadar isu ekonomi, tetapi juga krisis moral yang menggerogoti kepercayaan publik terhadap rantai pasok pangan.

Beras oplosan merujuk pada praktik mencampur beras berkualitas rendah, kadaluarsa, atau bahkan beras plastik dengan beras premium untuk meningkatkan keuntungan. Beberapa kasus menunjukkan penggunaan bahan kimia seperti pemutih atau pengawet untuk membuat beras tampak lebih putih dan menarik.

Dalam kasus yang lebih ekstrem, beredar kabar tentang beras sintetis yang terbuat dari bahan non-pangan, meskipun keberadaannya masih diperdebatkan. Menurut laporan Kompas.com (2023), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pernah menemukan beras yang mengandung bahan pemutih seperti klorin di sejumlah pasar tradisional.
“Kami menemukan indikasi penggunaan bahan kimia berbahaya yang tidak diperuntukkan untuk pangan. Ini sangat berisiko bagi kesehatan,” ujar seorang pejabat BPOM dalam laporan tersebut. Konsumsi beras semacam ini dapat menyebabkan gangguan pencernaan, kerusakan organ, hingga risiko kanker dalam jangka panjang.

Dampak Beras Oplosan bagi Masyarakat
Praktik beras oplosan tidak hanya merugikan konsumen secara kesehatan, tetapi juga berdampak pada ekonomi dan kepercayaan publik. Petani lokal, yang sudah berjuang dengan biaya produksi tinggi dan persaingan harga, menjadi korban ketika beras oplosan membanjiri pasar dengan harga lebih murah.

Konsumen, terutama dari kalangan menengah ke bawah, sering kali menjadi sasaran karena keterbatasan akses informasi dan daya beli. Seorang pedagang beras di Pasar Ciputat, Tangerang Selatan, yang enggan disebut namanya, mengaku kesulitan bersaing dengan beras oplosan.

“Beras bagus harganya Rp15.000 per kilo, tapi ada yang jual Rp10.000 per kilo. Konsumen awam pasti pilih yang murah, padahal kualitasnya mencurigakan,” katanya kepada Sketsa.id.

Selain itu, beras oplosan juga merusak kepercayaan terhadap sistem distribusi pangan. Ketika konsumen tidak lagi yakin dengan keamanan beras yang mereka beli, hal ini dapat memicu ketidakstabilan sosial, terutama di tengah krisis pangan global yang kian mengintai.

Upaya Penanganan dan Solusi Pemerintah, melalui Kementerian Pertanian dan BPOM, telah berupaya menangani peredaran beras oplosan dengan razia pasar dan pengawasan ketat terhadap rantai pasok. Namun, tantangan utama adalah lemahnya pengawasan di tingkat lokal dan minimnya sanksi tegas bagi pelaku.

Dalam laporan Detik.com (2024), seorang pengamat pangan dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Ir. Bayu Krisnamurti, menegaskan perlunya sistem pelacakan beras berbasis teknologi.
“Kita butuh traceability system yang transparan, sehingga konsumen tahu asal-usul beras yang mereka beli,” ujarnya.
Di sisi lain, edukasi kepada masyarakat juga menjadi kunci. Konsumen perlu dilatih untuk mengenali ciri-ciri beras oplosan, seperti tekstur yang terlalu licin, warna terlalu putih, atau bau kimia yang tidak wajar. Selain itu, dukungan terhadap petani lokal melalui kebijakan harga yang adil dapat mengurangi celah bagi praktik curang ini.

Kolaborasi untuk Pangan Aman Melawan beras oplosan bukanlah tugas satu pihak. Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat harus bekerja sama untuk memastikan keamanan pangan. Konsumen dapat berperan aktif dengan melaporkan kecurigaan terhadap kualitas beras ke pihak berwenang, sementara pelaku usaha perlu berkomitmen pada praktik bisnis yang etis.

Seperti yang dikatakan oleh Menteri Pertanian dalam sebuah wawancara dengan CNN Indonesia (2025), “Pangan adalah hak dasar rakyat. Kita tidak boleh kompromi dengan praktik yang membahayakan nyawa.”
Pernyataan ini menjadi pengingat bahwa beras oplosan bukan sekadar masalah kualitas, tetapi juga soal martabat dan keadilan. Mari bersama menjaga piring makan kita dari ancaman tersembunyi. Dengan kesadaran kolektif dan tindakan nyata, kita dapat memastikan bahwa setiap butir beras yang kita konsumsi adalah aman, sehat, dan bermartabat. (*)