Nasional, Sketsa.id – Menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia pada 17 Agustus 2025, fenomena pengibaran bendera One Piece, serial anime dan manga karya Eiichiro Oda, menjadi sorotan publik. Bendera bertengkorak bertopi jerami, yang dikenal sebagai Jolly Roger milik kru Topi Jerami, kini berkibar di mana-mana, dari rumah warga, kendaraan, hingga unggahan di media sosial, memicu perdebatan sengit. Sebagian melihatnya sebagai bentuk protes terhadap pemerintah, sementara lainnya menyebutnya ekspresi kreatif penggemar budaya pop, seperti dilansir BBC News Indonesia.
Dalam cerita One Piece, Jolly Roger dengan tengkorak bertopi jerami melambangkan kebebasan, solidaritas, dan perlawanan terhadap ketidakadilan, sebagaimana dijelaskan Logo World. Berbeda dari simbol bajak laut tradisional yang identik dengan kekerasan, bendera ini mencerminkan semangat petualangan dan keadilan yang diperjuangkan tokoh utama, Monkey D. Luffy. Di Indonesia, fenomena ini mencuat ketika generasi muda memasang bendera ini di rumah.
Seorang warga Kebayoran, Jakarta Selatan, yang enggan disebut namanya, mengaku kepada Tempo.co bahwa ia memasang bendera ini sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan.
“Saya cinta Indonesia, tapi kadang merasa pajak yang saya bayar nggak sebanding dengan apa yang saya dapat,” ujarnya. Bagi mereka, bendera ini bukan penolakan terhadap nasionalisme, melainkan cerminan kekecewaan terhadap sistem.
Pemerintah bereaksi tegas. Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Budi Gunawan, menyebut pengibaran bendera One Piece melanggar UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, karena dianggap merendahkan martabat Bendera Merah Putih, seperti dikutip Kompas.com.
“Kami akan tindak tegas demi menjaga simbol negara,” katanya. Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, bahkan dirinya menyebut aksi ini sebagai bagian dari “gerakan sistematis” untuk memecah belah bangsa, berdasarkan laporan intelijen pada 31 Juli 2025.
Di Surabaya, Ketua Komisi A DPRD, Yona Bagus Widyatmoko, meminta Pemkot bertindak cepat, khawatir bendera non-negara ini mengganggu semangat kebangsaan di bulan kemerdekaan, seperti dilansir Media Indonesia. Anggota DPR dari Fraksi PKB, Anna Mu’awanah, juga mengimbau masyarakat memprioritaskan Bendera Merah Putih sebagai lambang persatuan.
Namun, tidak semua setuju dengan pemerintah. Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, M Febriyanto Firman Wijaya, melihat fenomena ini sebagai cerminan kekecewaan anak muda terhadap simbol kenegaraan yang dianggap kehilangan makna.
“Anak muda kritis, mereka merasa suaranya nggak didengar, jadi cari simbol yang relevan seperti bendera One Piece yang melambangkan kebebasan,” jelasnya. Ia menyarankan pemerintah introspeksi alih-alih melarang.
Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, menyebut reaksi pemerintah berlebihan. Ia menilai pengibaran bendera ini sebagai ekspresi sah yang dijamin konstitusi, bukan makar. Ia mencontohkan sopir bus yang memasang bendera ini untuk memprotes pungli di jalanan, menunjukkan makna aksi ini bervariasi. “Pemerintah seharusnya dengar keluhan rakyat, bukan alergi sama simbol,” tegasnya.
Komunitas penggemar One Piece, atau “nakama,” juga terpecah. Ali Maulana, Ketua Komunitas One Piece Jayapura, melihat Jolly Roger sebagai simbol “kebebasan sipil” tanpa maksud menyinggung negara. Namun, penggemar lain seperti Arya khawatir simbol ini disalahgunakan untuk agenda politik. “Kalau salah orang yang pakai, One Piece malah dicap negatif,” ujarnya kepada Tribunnews.com.
Fenomena ini bahkan menarik perhatian media asing. Screen Rant dari Kanada menyebutnya sebagai “kontroversi paling aneh” yang melibatkan Jolly Roger, menduga aksi ini terkait protes terhadap pelanggaran HAM, sekaligus mengakui pengaruh global One Piece.
Kontroversi ini mencerminkan tarik-menarik antara kebebasan berekspresi dan nilai kebangsaan. Aksi ini menunjukkan kreativitas sekaligus kegelisahan anak muda yang merasa terpinggirkan, sementara pemerintah melihatnya sebagai ancaman terhadap persatuan. Dialog terbuka, seperti disarankan Febriyanto, menjadi kunci agar Bendera Merah Putih tetap relevan sebagai lambang kebangsaan.
Fenomena ini juga mengingatkan kita akan kekuatan budaya pop seperti One Piece dalam menyuarakan aspirasi sosial.
Namun, tanpa pengelolaan bijak, simbol ini bisa memicu polarisasi. Akankah pemerintah membuka ruang diskusi dengan anak muda, atau justru memperketat kontrol? HUT RI ke-80 bukan hanya soal perayaan, tapi juga momen untuk merenungkan makna kemerdekaan di hati rakyat.(*)