Samarinda, Sketsa.id – Rencana pemerintah memberikan izin konsesi tambang kepada perguruan tinggi menuai penolakan keras dari Koalisi Dosen Universitas Mulawarman. Mereka menilai kebijakan tersebut sebagai ancaman terhadap independensi kampus dan berpotensi mengubah perguruan tinggi menjadi entitas bisnis yang jauh dari nilai akademik dan peradaban.
Koalisi ini menegaskan bahwa izin tambang bagi kampus dapat menjadi alat kekuasaan untuk menjinakkan dunia akademik. Lebih dari itu, kampus yang seharusnya menjadi pusat ilmu pengetahuan dan inovasi justru berisiko berubah menjadi produsen pebisnis dengan mental perusak lingkungan.
“Kita sudah melihat sendiri bagaimana industri tambang merusak lingkungan. Penyingkiran masyarakat adat, alih fungsi lahan, banjir, bangunan retak, jalan rusak, hingga korban jiwa akibat lubang bekas tambang sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Tidak seharusnya perguruan tinggi ikut menjadi bagian dari rantai pe
perusakan ini,” ujar salah satu perwakilan Koalisi Dosen Universitas Mulawarman, Senin (3/2/2025).
Atas dasar itu, mereka menyatakan sikap tegas dengan tiga poin utama. Pertama, menolak pemberian izin konsesi tambang bagi perguruan tinggi karena dinilai sebagai penghinaan terhadap martabat akademik. Kedua, meminta pemerintah dan DPR menghentikan pembahasan perubahan RUU Minerba yang membuka peluang pemberian izin tambang kepada perguruan tinggi serta ormas keagamaan. Ketiga, menyerukan seluruh civitas akademika untuk bersatu menolak kebijakan ini guna menjaga marwah perguruan tinggi.
Pernyataan sikap ini ditandatangani oleh 54 dosen dari berbagai lintas fakultas di Universitas Mulawarman, termasuk dari Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, hingga Fakultas Pertanian.
“Kami mengajak semua pihak, terutama akademisi di seluruh Indonesia, untuk bersama-sama menolak upaya ini demi menjaga independensi kampus dan menyelamatkan lingkungan dari eksploitasi lebih lanjut,” tegas Koalisi Dosen Universitas Mulawarman.
Hingga berita ini diturunkan, pemerintah belum memberikan tanggapan terkait penolakan dari kalangan akademisi ini. (*)