Andi Satya Dorong Tes Urine sebagai Deteksi Alternatif Kanker Serviks yang Ramah Privasi

Foto: Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), Andi Satya Adi Saputra

Samarinda, Sketsa.id — Tingginya angka kematian akibat kanker serviks di Indonesia memicu keprihatinan berbagai pihak, termasuk kalangan legislatif. Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), Andi Satya Adi Saputra, menyuarakan pentingnya inovasi dalam metode skrining kanker serviks yang lebih ramah terhadap perempuan, khususnya dalam aspek kenyamanan dan privasi.

Sebagai seorang dokter spesialis kandungan, Andi Satya memahami bahwa salah satu hambatan terbesar dalam upaya deteksi dini kanker serviks adalah metode pemeriksaan yang invasif, seperti penggunaan spekulum atau alat cocor bebek. Metode ini sering kali membuat perempuan, terutama yang belum menikah, merasa tidak nyaman bahkan enggan menjalani pemeriksaan.

“Banyak perempuan merasa malu diperiksa dengan alat konvensional. Karena alasan privasi dan budaya, mereka akhirnya menolak skrining. Ini sangat disayangkan, karena deteksi dini bisa menyelamatkan nyawa,” ujarnya, Sabtu (17/5/2025).

Ia memaparkan data mengejutkan: dari lebih dari 36 ribu kasus kanker serviks setiap tahunnya di Indonesia, sekitar 18 ribu perempuan kehilangan nyawa.

“Itu artinya hampir 50 persen penderita meninggal dunia. Ini situasi darurat yang perlu penanganan serius,” tegasnya.

Sebagai alternatif, Andi Satya mendorong adopsi metode deteksi dini Human Papillomavirus (HPV) melalui tes urine. Menurutnya, pendekatan ini tidak hanya non-invasif dan praktis, tetapi juga memungkinkan perempuan untuk melakukannya secara mandiri di rumah.

“Dengan tes urine, perempuan cukup menampung urin di botol khusus, tanpa harus menjalani prosedur yang membuat mereka tidak nyaman. Ini bisa dilakukan tanpa kehadiran tenaga medis dan hasilnya cepat diketahui,” jelasnya.

Ia juga menekankan bahwa pendekatan ini sangat relevan bagi perempuan yang tinggal di wilayah pelosok, yang memiliki keterbatasan akses terhadap fasilitas kesehatan. Tanpa perlu infrastruktur klinis kompleks, metode ini dinilai cocok untuk dijalankan dalam skala luas melalui program-program kesehatan berbasis komunitas.

“Jika kita serius ingin menurunkan angka kematian akibat kanker serviks, maka kita harus membuka lebih banyak pintu bagi perempuan untuk melakukan deteksi dini. Tes urine adalah pintu itu,” katanya.

Dengan pendekatan yang lebih inklusif dan berfokus pada kenyamanan pasien, Andi berharap stigma terhadap skrining kanker serviks bisa dikikis.

Sebagai penutup,Andi mengingatkan bahwa kesehatan perempuan merupakan fondasi dari ketahanan keluarga dan masyarakat.

“Perempuan yang sehat akan melahirkan generasi yang kuat. Maka sudah seharusnya kita permudah akses mereka untuk menjaga kesehatan reproduksi,” tutupnya. (Adv/DPRD Kaltim)