Jakarta, Sketsa.id – Malam itu, Jalan Veteran II tampak lengang. Lampu jalan memantulkan cahaya kuning pucat di atas aspal yang sedikit basah. Di ujung jalan, berdiri sebuah bangunan tua berwarna kusam. Dari luar, ia tak banyak bicara, seolah menyimpan rahasia yang enggan dibuka. Tapi bagi mereka yang tahu, dinding itu telah menyaksikan lebih banyak pergulatan bangsa daripada sebagian besar arsip sejarah.
Di plakat depan, tertulis “Serikat Media Siber Indonesia”. Ya, inilah markas SMSI Pusat, organisasi yang menaungi ribuan media siber di seluruh Indonesia. Namun, sebelum menjadi rumah insan pers, gedung ini pernah menjadi markas operasi rahasia, pusat rapat revolusioner, dan ruang konsolidasi politik yang getarannya bisa terasa hingga ke istana negara—hanya beberapa langkah dari sini.
Kamis malam, 15 April 2021, suasana di lantai dua kantor SMSI terasa hangat. Ketua Umum SMSI, Firdaus, sibuk menyambut tamu-tamunya sambil sesekali melempar tawa. Hadir di sana antara lain Deden Ridwan (penulis, produser & CEO Reborn Initiative), Salman el-Hakim (Ketua Umum Masyarakat Sepak Bola Indonesia), dan Erris Julietta Napitupulu (Sekretaris SMSI Sumut). Mereka duduk di ruang rapat yang aroma klasiknya masih kental, seakan membawa kita mundur ke masa lalu.
Bukan sekadar temu ramah, malam itu ada “hajatan” istimewa yakni rapat untuk membicarakan pembuatan buku dan film dokumenter Pergulatan di Ring Nol: JP Coen, DN Aidit, hingga Firdaus.
“Gedung ini menyimpan jejak pergulatan intelektual, politik, dan ideologi yang menarik. Apa yang terjadi di sini getarannya bisa sampai ke istana, dan sebaliknya,” ujar Firdaus, setengah bercanda namun serius.
Menurut catatan sejarah, bangunan ini awalnya adalah markas Marsose—polisi rahasia Hindia Belanda—pada era Gubernur Jenderal JP Coen. Di sinilah operasi intelijen dilakukan untuk mengawasi warga pribumi, sebelum Coen sendiri tewas di tangan rakyat.
Pada masa revolusi, sekitar 1945, gedung ini dikuasai CC PKI di bawah pimpinan DN Aidit. Di sinilah sejumlah rapat penting berlangsung, termasuk persiapan Pemberontakan Madiun 1948 dan Gerakan 30 September 1965. Setelah gelombang 1965 mereda, gedung ini beralih ke Kodam Siliwangi, lalu Kodam Jaya, sebelum akhirnya diserahkan Gubernur DKI Ali Sadikin kepada PWI Pusat, dan kemudian menjadi rumah bagi SMSI.
Rapat malam itu berlangsung seru ditemani dengan Sate Padang dan gelas kopi yang tak kunjung kosong. Ide-ide mengalir deras, hingga disepakati bahwa Deden Ridwan akan menjadi penulis buku sekaligus produser filmnya.
Pergulatan di Ring Nol bukan sekadar kisah sejarah, ia adalah potongan-potongan zaman yang berbeda, namun saling terhubung. Dari JP Coen, DN Aidit, hingga Firdaus, semuanya bertemu di satu titik—sebuah gedung tua di jantung Jakarta yang pernah menjadi pusat getaran politik negeri ini.
Dan seperti setiap bab yang pernah ditulis di sini, cerita ini belum selesai hingga bab berikutnya sudah menunggu untuk ditorehkan.(*)