Dewan Kaltim Hadiri Diskusi Bertajuk Pertambangan: Anugrah atau Musibah

ilustrasi: Bekas lubang tambang yang dibiarkan menganga

Sketsa.id, Samarinda – Wakil Ketua DPRD Kaltim, Seno Aji dan anggota Komisi II DPRD Kaltim, Muhammad Ali Hamdi menjadi narasumber pada Diskusi Publik dengan tajuk Pertambangan Kaltim, Anugrah Atau Musibah. yang diselenggarakan Pengurus Wilayah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Kaltim – Kaltara, Sabtu (21/8/2021).

Secara historis, Seno Aji menjelaskan Kaltim memiliki pertambangan sudah sejak sekitar tahun 1960. Bahkan pada tahun 1932 sudah ada pertambangan yang masuk di Kaltim melalui perusahaan Hindia Belanda.

Kemudian, lanjut Seno, pemerintah Orde Lama merumuskan Undang-undang nomor 10 tahun 1959, yang mengatur semua kegiatan pertambangan termasuk bagaimana prosedur-prosedur pertambangan, selanjutnya peraturan ini diperbaiki di era berikutnya dengan UU nomor 37 tahun 1960 dijelaskan bagaimana sebuah perusahaan pertambangan dapat melakukan pertambangan di Indonesia dengan syarat-syarat tertentu dan modal kerja tertentu yang disampaikan kepada pemerintah.

“Nah disitulah mulai proses kontrak karya kemudian proses PKP2B terutama yang besar, dilanjutkan dengan Undang-Undang tahun 1967 yang menjelaskan lebih jauh bagaimana sebuah perusahaan pertambangan melakukan aktifitasnya di Indonesia tentunya dengan pengawasan yang baik,” ujar Seno.

“Sejarah ini berlangsung panjang mereka dapat melakukan aktifitasnya tanpa batasan seperti kontrak karya pertama kepada PT Freeport, kemudian pemerintah mengambil kebijakan jika pertambangan diberikan tanpa batasan maka pertambangan tersebut tidak akan berjalan dengan baik, karena aktifitasnya memakan waktu yang lama,” sambungnya.

Berdasarkan hal tersebut, pemerintah harus melihat dampak yang ditimbulkan, turatama terhadap masyarakat selama ini. Ternyata kontrak karya dan PKP2B memiliki dampat tidak baik kepada masyarakat dan lingkungan.

Efeknya perusahaan pertambangan dilihat pemerintah seperti Papua sampai sekarang belum berkembang dengan baik, maka tahun 2004 dibuat UU otonomi daerah nomor 32 tahun 2004, dimana pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk menerbitkan Ijin Usaha Pertambangan yang dulu namanya Kuasa Pertambangan (KP).

“Setelah adanya UU ini kita melihat raja-raja kecil berkuasa seperti CV, Koperasi dan PT yang tadinya tanpa modal bisa untuk mendapatkan KP, dan mulai 2004 banyak sekali tumbuh perusahaan tambang yang tanpa skill, tanpa pengetahuan yang cukup mereka bisa menguasai lokasi-lokasi tambang dengan modal yang tidak banyak. Harusnya modal pertambangan dalam Rencana Kerja Anggaran biaya saja membutuhkan puluhan bahkan ratusan Miliar, tapi kenyataannya dengan modal ratusan juta mereka sudah bisa mendapatkan KP dan bisa melakukan aktifitas pertambangan,” paparnya.

Ia mengaku, hal ini sangat ironis pada saat itu, bahkan KP – KP di Kaltim ini di Kementrian pusat dikatakan pertambangan ilegal, karena para pengusaha pertambangan pada saat itu bebas melakukan aktifitasnya dan kontrol yang sangat kurang.

“Jika dikatakan Pertambangan di Kaltim anugrah atau musibah, maka bisa saya katakan yang dulunya anugrah bisa jadi musibah. Tetapi jika kita lihat dari ribuan KP ini di daerah pada saat mereka melakukan aktifitasnya ada juga KP – KP dengan investor yang baik, dan mereka melakukan aktifitas pertambangannya juga dengan benar, disini mereka mendapatkan hasil batu bara yang cukup signifikan dan eksesnya adalah masyarakat juga terangkat ekonominya,” ungkapnya.

Ia melanjutkan, UU berikutnya terkait pertambangan ijinnya dilimpahkan ke Provinsi, dan disini mulai tertata dan bisa dikontrol sehingga para pengusaha pertambangan harus melengkapi semua dokumen-dokumen yang rapi sebelum melakukan pertambangan. Kemudian terbit UU nomor 3 tahun 2020 mencabut semua kewenangan baik itu pemberian ijin maupun pengawasannya ke Pemerintah Pusat, sehingga saat ini Pemprov Kaltim tidak bisa melakukan apa-apa terkait IUP yang ada di Kaltim.

“Maka saat ini kita harus menaati UU tersebut, dan bagaimana kita menyikapinya maka Pemprov Kaltim harus datang ke Kementrian SDM mereka harus berbagi tugas, apa yang harus dilakukan Pemprov Kaltim dan pemerintah pusat terkait apapun yang sudah ada Kaltim, baik yang sudah rusak maupun yang belum dilakukan penambangan,” tuturnya.

Sementara itu, anggota Komisi II DPRD Kaltim H. Muhammad Ali Hamdi menambahkan, bahwa jelas dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia.

“Dan setelah terbit UU nomor 3 tahun 2020 ini menurut saya bencana terutama di Kaltim, karena Pemprov Kaltim tidak bisa berbuat apa-apa terkait pertambangan ini, memang ada beberapa pasal mengenai pengawasan tetapi pengawasan itu tumpul,” pungkasnya.

(Adv/DPRD Kaltim/Jgl)