Samarinda, Sketsa.id – Setiap hari, Sungai Mahakam sibuk oleh lalu-lalang kapal tongkang yang mengangkut batu bara. Di atas permukaan air yang tampak tenang itu, sebenarnya ada aktivitas besar yang jarang dilihat dari dekat: pemindahan batu bara dari tongkang ke kapal induk atau yang disebut dengan istilah Ship to Ship (STS). Proses ini terlihat rutin, tapi diam-diam menyisakan jejak yang tak bisa diabaikan: pencemaran lingkungan yang makin terasa.
Rudiansyah, Kepala Bidang Penaatan dan Peningkatan Kapasitas Lingkungan Hidup dari DLH Kalimantan Timur, menyampaikan bahwa dari seluruh tahapan rantai aktivitas batu bara, justru proses di atas air inilah yang paling rawan. Saat dihubungi pada Selasa (5/8/2025), ia menegaskan bahwa STS dan proses pembersihan tongkang menjadi dua titik kritis penyumbang pencemaran di wilayah perairan.
“Dari keseluruhan tahapan kegiatan batu bara, aktivitas di perairan khususnya saat STS dan pembersihan tongkang memiliki kontribusi terhadap pencemaran,” ungkapnya, seperti dilansir dari antaranewskaltim.com.
Menurutnya, banyak titik lemah dalam proses ini—mulai dari posisi grab crane yang terlalu tinggi, celah antar kapal, hingga debu yang beterbangan dan jatuh ke sungai.
Sungai Mahakam yang menjadi urat nadi kehidupan bagi masyarakat Samarinda dan sekitarnya, pelan-pelan membawa partikel-partikel itu ke berbagai penjuru, memperluas dampak lingkungan yang jarang tampak langsung namun terasa dalam jangka panjang.
Sebagai langkah pencegahan, DLH Kaltim menyarankan penggunaan teknologi penyemprot (sprayer) saat pemuatan batu bara dilakukan. Teknologi ini bekerja dengan cara menyemprotkan air atau cairan pengikat debu sehingga partikel-partikel halus itu tak langsung terbang bebas ke udara atau jatuh ke air. Di sisi lain, penutupan rapat pada alat angkut serta pelindung celah antara tongkang dan kapal induk juga dianggap sebagai solusi sederhana namun sangat krusial.
“Selain itu, perlu dipastikan alat angkut tertutup rapat dan celah antara tongkang dengan kapal induk ditutup dengan lapisan pelindung untuk mencegah material jatuh ke laut,” tambah Rudiansyah.
Namun persoalan tak berhenti sampai di situ. DLH Kaltim juga menolak keras praktik pembersihan sisa batu bara di tongkang yang diajukan oleh sejumlah pelaku usaha. Proses itu biasanya dilakukan dengan memindahkan sisa material ke kapal kecil, dan ini dianggap menyalahi aturan pengelolaan limbah.
Sejak 2013, DLH Kaltim tidak pernah menerbitkan izin untuk praktik ini. Alasannya jelas: sisa batu bara dari proses usaha tidak bisa dikategorikan sebagai limbah biasa. Menurut regulasi lingkungan, material ini memerlukan penanganan khusus. Artinya, tanggung jawab sepenuhnya ada di perusahaan, bukan dibuang sembarangan atau dialihkan begitu saja ke pihak lain.
“Kami memandang sisa batu bara itu bukan limbah dalam pengertian yang dimaksud undang-undang, sehingga metode pembersihannya pun harus ditangani secara khusus oleh perusahaan,” tegas Rudiansyah.
Di tengah upaya besar menjaga pertumbuhan ekonomi daerah lewat sektor tambang, suara seperti ini penting untuk terus didengar. Bukan untuk menghambat, tapi untuk mengingatkan bahwa pembangunan yang baik adalah yang tidak menutup mata pada ekosistem yang menopangnya. Sungai Mahakam terlalu lama jadi saksi bisu, dan kini, barangkali, sudah waktunya ia mendapat perlindungan yang lebih nyata.(*)