Jakarta, Sketsa.id – DPR resmi menyetujui perubahan keempat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) pada 18 Februari lalu.
Revisi ini memicu kekhawatiran, terutama soal independensi akademik dan potensi hambatan terhadap transisi energi di Indonesia.
Dalam revisi UU Minerba, perguruan tinggi akan menerima manfaat dari kerja sama dengan BUMN, BUMD, dan perusahaan swasta dalam pengelolaan tambang. Hal ini dikhawatirkan bisa membungkam suara kritis akademisi dan mengarahkan penelitian agar sejalan dengan kepentingan industri tambang.
“Perguruan tinggi seharusnya independen dan berbasis ilmiah. Jika terlalu bergantung pada industri tambang, ada risiko mereka hanya mendukung kebijakan yang menguntungkan perusahaan, meskipun bertentangan dengan prinsip keberlanjutan,” kata Sartika Nur Shalati, Policy Strategist CERAH.
Pasal 51A dan 60A dalam revisi UU Minerba menetapkan bahwa sebagian keuntungan dari tambang akan diberikan kepada perguruan tinggi sesuai perjanjian kerja sama.Di tengah pemangkasan anggaran pendidikan, bantuan dana dari industri tambang bisa membuat kampus semakin bergantung. Herdiansyah Hamzah, dosen Universitas Mulawarman, menilai regulasi ini bisa menjadi alat untuk menekan kampus agar berpihak pada industri ekstraktif.
“Kampus berpotensi digunakan untuk melegitimasi industri tambang agar terlihat menguntungkan, padahal dampaknya besar terhadap lingkungan dan masyarakat,” tegasnya.
Ketergantungan kampus pada industri batu bara juga bisa menghambat pengembangan energi terbarukan. Akademisi mungkin kesulitan melakukan penelitian energi bersih jika sumber daya mereka berasal dari perusahaan yang bergantung pada bahan bakar fosil.
“Pemerintah dan DPR harus memastikan kebijakan ini tidak merugikan masa depan energi Indonesia,” tambah Sartika.
Revisi UU Minerba juga nantinya membuka peluang pemberian izin tambang secara prioritas kepada koperasi dan UMKM. Hal ini dikhawatirkan bisa mengulang masalah lama, di mana banyak izin tambang dikeluarkan tanpa pengawasan.
Aryanto Nugroho, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, mengingatkan bahwa pengawasan pemerintah masih lemah terhadap industri tambang.
“Hingga kini, belum ada kejelasan soal progres pembentukan Ditjen Gakkum di Kementerian ESDM,” katanya.
Dengan adanya revisi ini, banyak pihak mempertanyakan apakah kampus masih bisa mempertahankan kebebasan akademik atau justru semakin terikat dengan kepentingan bisnis tambang. (*)