Samarinda, Sketsa.id – Kebijakan penghematan anggaran yang digulirkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 mulai berdampak signifikan pada industri perhotelan di Kalimantan Timur (Kaltim). Dua kota besar, Samarinda dan Balikpapan, menjadi wilayah yang paling terdampak akibat berkurangnya aktivitas pemerintahan yang selama ini menjadi penopang utama okupansi hotel.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim, tingkat hunian kamar hotel pada Maret 2025 hanya menyentuh angka 36,43 persen. Angka ini menurun drastis dibanding periode yang sama tahun lalu, dengan selisih 17,06 poin. Kepala BPS Kaltim, Yusniar Juliana, mengibaratkan kondisi ini serupa dengan situasi krisis saat pandemi Covid-19, ketika sektor pariwisata mengalami stagnasi total.
Durasi kunjungan wisatawan pun mengalami penyusutan. Rata-rata lama menginap hanya 1,45 hari, bahkan untuk pelancong domestik, hanya sekitar 1,44 hari. Meskipun jumlah perjalanan wisata dalam negeri tercatat 1.119.378 pada Maret 2025, naik 15,94 persen dibanding tahun sebelumnya, angka tersebut tetap menunjukkan penurunan dibanding bulan sebelumnya.
Ketua Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA) Kaltim, Wied Paramartha, menyampaikan bahwa sebagian besar pendapatan hotel di wilayah ini bersumber dari agenda pemerintah seperti rapat dan pertemuan dinas. Ia memperkirakan kontribusinya mencapai 50–70 persen terhadap total pendapatan hotel. Dengan pemangkasan anggaran, permintaan dari segmen tersebut anjlok.
Sorotan tajam pun datang dari DPRD Kalimantan Timur. Sekretaris Komisi II, Nurhadi Saputra, menyatakan keprihatinannya terhadap dampak berantai yang ditimbulkan. Ia memperingatkan potensi terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) jika penurunan okupansi terus berlanjut.
“Jika tidak segera ditangani, ancaman PHK di sektor perhotelan sangat mungkin terjadi. Ini bukan hanya soal hotel, tapi juga dampaknya ke rantai ekonomi lainnya,” ujar Nurhadi, Selasa (13/5/2025).
Ia mendorong agar pemerintah pusat meninjau ulang kebijakan efisiensi tersebut dan mengusulkan agar langkah-langkah penghematan diarahkan pada sektor-sektor yang tidak bersinggungan langsung dengan ekonomi masyarakat.
Nurhadi juga menyoroti wilayah Balikpapan dan kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang ikut mengalami penurunan aktivitas pariwisata, dan berdampak pada Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ia menekankan bahwa setiap kebijakan nasional semestinya tidak mengorbankan daya tahan ekonomi daerah.
“Kebijakan yang menyeluruh tidak boleh mengabaikan kerentanan daerah. Harus ada keseimbangan agar stabilitas ekonomi tetap terjaga,” tegasnya. (Adv/DPRD Kaltim)