Jakarta, Sketsa.id – Setiap 14 Februari, dunia merayakan Hari Valentine dengan bunga, cokelat, dan ungkapan kasih sayang. Namun, di balik suasana romantis ini, Valentine’s Day juga memunculkan perdebatan panjang: apakah ini murni perayaan cinta atau sekadar strategi bisnis?
Sejarah Hari Valentine: Dari Legenda Hingga Tradisi Modern
Perayaan ini berakar dari kisah Santo Valentinus, seorang pendeta yang dihukum mati pada abad ke-3 karena menikahkan pasangan secara diam-diam, menentang larangan Kaisar Romawi Claudius II. Legenda menyebutkan, sebelum dieksekusi, ia menulis surat kepada seorang wanita dengan tanda tangan “From Your Valentine”, yang kemudian menginspirasi tradisi kartu ucapan.
Seiring waktu, makna Valentine berkembang, dari peringatan religius menjadi perayaan global yang penuh simbol cinta. Namun, Oscar Wilde pernah berkata:
“Cinta hanyalah kebohongan yang kita akui bersama-sama.”
Pernyataan ini menggambarkan skeptisisme terhadap cinta yang telah dikomersialisasi, terutama dalam momen seperti Hari Valentine.
Valentine: Cinta atau Bisnis?
Kini, Valentine telah menjadi industri bernilai miliaran dolar. Di Amerika Serikat saja, pengeluaran untuk perayaan ini mencapai triliunan rupiah setiap tahun. Produk seperti cokelat, bunga mawar, kartu ucapan, hingga perhiasan laris di pasaran.
Menurut Prof. Paul Harrison dari Harvard University:
“Valentine’s Day adalah contoh sempurna bagaimana kapitalisme mengubah kebutuhan emosional menjadi konsumsi.”
Namun, tak sedikit yang menentang tren ini. Dalai Lama mengingatkan bahwa cinta sejati bukan tentang benda yang diberikan, tetapi ketulusan hati tanpa pamrih.
Valentine di Mata Publik: Romantisme atau Kesepian?
Bagi pasangan, Valentine menjadi momen spesial untuk mempererat hubungan. Namun, bagi mereka yang patah hati atau masih sendiri, perayaan ini justru bisa terasa menyedihkan.
Aktris Emma Watson yang memperkenalkan konsep self-partnered mengatakan:
“Saya tidak merasa bahwa perlu memiliki pasangan untuk merasa lengkap.”
Fenomena Valentine’s Day, di mana Valentine dirayakan bersama sahabat, semakin populer. Selebriti seperti Taylor Swift bahkan menegaskan pentingnya persahabatan di atas segalanya:
“Hubungan bisa datang dan pergi, tetapi sahabat sejati akan selalu ada.”
Kesimpulan: Cinta Sejati di Luar Valentine
Apakah Valentine benar-benar perayaan cinta atau hanya strategi pemasaran, semua kembali pada cara masing-masing memaknainya. Seperti yang dikatakan Kahlil Gibran dalam The Prophet:
“Cinta tidak memiliki keinginan selain mewujudkan dirinya sendiri.”
Lebih dari sekadar tanggal 14 Februari, cinta sejati seharusnya dirayakan setiap hari—bukan hanya untuk pasangan, tetapi juga untuk keluarga, sahabat, dan diri sendiri. (*)