Nasional, Sketsa.id – Tahun 2025 membawa bayang-bayang gelap bagi banyak keluarga di Indonesia. Ribuan orang kehilangan pekerjaan dalam waktu singkat, dan biaya hidup terus naik tanpa ampun. Di balik angka-angka statistik, ada wajah-wajah cemas, piring makan yang makin sederhana, dan anak-anak yang mulai mengerti arti kekurangan sebelum waktunya.
Sejak Januari hingga Mei, lebih dari 26 ribu orang tercatat terkena PHK. Di pabrik, di kantor, bahkan di sektor logistik yang dulu dianggap aman. Ada yang sudah puluhan tahun bekerja, tapi tetap tak luput dari efisiensi. Angka PHK melonjak tajam, terutama di Februari. Satu bulan, lebih dari 18 ribu pekerja resmi kehilangan nafkahnya. Dan itu baru yang tercatat. Jumlah sebenarnya bisa lebih besar.
Mereka yang terkena PHK tak selalu langsung dapat pekerjaan baru. Banyak yang akhirnya berjualan seadanya, jadi ojek online, atau kembali ke desa. Tapi kebutuhan tak ikut mundur. Harga pangan naik, biaya sekolah naik, transportasi mahal, dan cicilan tetap menagih. Tak sedikit orang tua kini harus memilih: makan cukup atau tetap bayar sekolah anak.
Di sisi lain, anak-anak muda yang baru lulus kuliah pun kesulitan mencari kerja. Data menyebut pengangguran usia muda mencapai lebih dari 16 persen. Itu artinya, satu dari enam anak muda tak punya pekerjaan. Banyak dari mereka akhirnya bekerja di sektor informal dengan penghasilan tak menentu, tanpa jaminan kesehatan atau masa depan.
Saat Lebaran tiba pun, momen yang biasanya jadi pelipur lara justru jadi beban. Ongkos mudik naik, harga kebutuhan pokok melejit. Banyak keluarga terpaksa tidak pulang kampung. Ada yang bahkan mengaku hanya bisa merayakan Idulfitri dengan mi instan dan air putih. Tradisi bersilaturahmi tetap jalan, tapi dengan perasaan sedih yang sulit disembunyikan.
Di media sosial, suara-suara kegelisahan semakin nyaring. Tagar seperti #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu ramai diperbincangkan. Ungkapan-ungkapan ini bukan sekadar sindiran, tapi cerminan rasa kehilangan harapan dari generasi muda. Banyak yang mulai berpikir untuk merantau ke luar negeri, bukan untuk jalan-jalan, tapi karena merasa tidak punya pilihan di tanah sendiri.
Kebijakan pemerintah memang ada.Suku bunga diturunkan, stimulus digelontorkan, bansos dibagikan. Tapi bagi mereka yang sudah kehilangan pekerjaan atau hidup dalam ketidakpastian, semua itu sering terasa jauh. Yang dibutuhkan bukan hanya bantuan sesaat, tapi kepastian: bahwa besok masih bisa bekerja, bahwa anak tetap bisa sekolah, bahwa harga beras tidak tiba-tiba naik dua kali lipat.
Indonesia hari ini sedang diuji, bukan hanya secara ekonomi, tapi juga secara sosial dan kemanusiaan. Di tengah angka-angka pertumbuhan dan investasi, jangan sampai kita lupa bahwa ada banyak orang yang sedang bertahan hidup. Negara bukan hanya soal proyek besar dan pembangunan fisik. Negara adalah tentang menjaga martabat warganya, tentang memastikan bahwa tidak ada yang dibiarkan jatuh tanpa tangan yang siap mengangkatnya kembali.(*)