Samarinda, Sketsa.id -Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru atau disingkat PKKMB seharusnya menjadi momen pengenalan kehidupan kampus bagi mahasiswa baru, bukan ajang pencitraan pejabat atau indoktrinasi kekuasaan. Tapi sayang, Universitas Mulawarman justru mengundang Wakil Gubernur Kaltim, Seno Aji sebagai keynote speaker—seolah-olah mahasiswa baru perlu diajari cara “bermesraan” dengan penguasa sejak hari pertama mereka menginjakkan kaki di kampus. Ini jelas pengaburan esensi akademik.
Jika tujuannya adalah menanamkan nilai-nilai kebangsaan, bukankah rektor atau dosen-dosen kewarganegaraan jauh lebih kompeten? Mereka yang sehari-hari mengajar Pancasila dan etika berbangsa tentu lebih paham bagaimana menyampaikannya dengan pendekatan keilmuan, bukan sekadar pidato politis.

Herdiansyah Hamzah (yang akrab dipanggil Castro), dosen Fakultas Hukum UNMUL, menyebut ini sebagai pengkhianatan terhadap roh akademik.
Kritiknya terbukti benar. Saat Seno Aji berpidato, mahasiswa FKIP serentak berbalik badan—sebuah protes diam yang menggugat legitimasi pejabat korup di mimbar kampus. Beberapa bahkan meneriakkan “Gratispol mana?“, mengejek janji pendidikan gratis yang ternyata hanya ilusi.
Namun, skandal terbesar justru terjadi ketika TNI mengambil alih panggung. Materi “Pembinaan Kesadaran Bela Negara” yang disampaikan perwira Kodam Mulawarman langsung ditolak mentah-mentah.
Mahasiswa di tribun atas menyanyikan “Mars Mahasiswa“dan “Buruh Tani” sebuah perlawanan budaya yang direspons dengan ancaman oleh oknum TNI: “Yang berani turun ke depan!” Adegan ini, yang terekam dan viral, membuktikan betapa militerisasi kampus telah melahirkan atmosfer intimidasi.
Castro menegaskan, UNMUL sedang mengajari mahasiswa baru pelajaran paling berbahaya. Ia mempertanyakan, “Mengapa harus TNI? Jika ingin ajarkan nasionalisme, Rektor dan para dosen lebih ahli. Jika butuh teladan disiplin, Hatta dan Sjahrir adalah contoh terbaik.”
Fakta-fakta ini mengungkap sebuah penyakit kronik di tubuh UNMUL:
– Kampus sebagai alat politik, dengan mengundang pejabat yang tidak relevan dengan dunia akademik.
– Militerisasi pendidikan, melalui indoktrinasi berbungkus “bela negara”.
– Represi terhadap kritik, terbukti dari respons agresif TNI terhadap mahasiswa yang berani bersuara.
Lalu, di mana peran rektorat? Diamnya mereka justru mengkonfirmasi bahwa ini bukan kesalahan teknis, tetapi kebijakan sistematis.
Pertanyaan terakhir: Mau dibawa ke mana masa depan pendidikan di Kaltim jika kampus terbesarnya saja sudah menjual diri kepada kekuasaan? Mahasiswa baru telah memberikan contoh keberanian. Sekarang, giliran civitas academica UNMUL untuk memilih—berdiri di pihak kebenaran, atau menjadi budak politik dan militerisme. (*)