Samarinda, Sketsa.id – Terkait RUU Penyiaran yang santer akhir akhir ini membuat Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Kaltim mendesak pemerintah untuk meninjau kembali dan menghapus pasal-pasal karet di dalam RUU Penyiaran.
Hal ini disampaikan langsung oleh Ketua IJTI Kaltim, Arditya Abdul Azis pada Kamis (06/06/2024) sore.
Menurutnya, RUU Penyiaran mengandung pasal-pasal yang mengancam kemerdekaan pers, khususnya larangan terhadap jurnalisme investigasi yang merupakan inti dari jurnalisme berkualitas.
Pasal ini bertentangan dengan UU 40 Pasal 4 yang menjamin tidak adanya penyensoran,” tegas Azis.
“Pasal ini bertentangan dengan UU 40 Pasal 4 yang menjamin tidak adanya penyensoran,” tegas Azis.
Jika RUU ini nantinya disahkan, ketua IJTI Kaltim melihat akan terjadi tumpang tindih kewenangan antara Dewan Pers dan KPI, serta membuka peluang kembali ke era kegelapan jurnalitik yaitu penyensoran.
IJTI Kaltim juga dengan tegas menyatakan bahwa mereka telah satu suara dengan IJTI Pusat dalam menolak rencana Revisi UU Penyiaran yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers.
Azis juga menyoroti beberapa pasal dalam RUU Penyiaran yang dianggapnya kontroversial dan berpotensi merugikan.
“Tercantum pada Pasal 50B ayat 2 huruf c dan k. Pasal-pasal inilah yang dianggap mengkriminalisasi aktivitas jurnalisme investigatif, yang dapat menghambat kebebasan pers dan kebebasan berpendapat di Indonesia,” ungkapnya.
IJTI Kaltim sendiri khawatir, jika pasal ini disahkan, akan terjadi pengebirian pers, sehingga kemerdekaan jurnalistik dikorbankan.
Meskipun ada juga beberapa pasal-pasal yang baik. Namun hal itu diinilai mengandung potensi ancaman terhadap kebebasan pers.
Berdasarkan hal tersebut, IJTI Kaltim berkomitmen untuk terus memantau perkembangan RUU Penyiaran, guna memastikan pasal-pasal yang mengancam kemerdekaan pers dicabut.
Karena seperti yang kita tahu, RUU Penyiaran memang penting untuk memastikan regulasi yang baik dalam industri penyiaran, namun harus diingat bahwa kebebasan pers dan kebebasan berekspresi adalah fondasi dari demokrasi yang sehat. (*)