Nasional, Sketsa.id – Di tengah gejolak ekonomi global dan tekanan inflasi yang mencapai 5,2% pada pertengahan 2025, masyarakat Indonesia mengembangkan strategi bertahan hidup yang kreatif melalui fenomena Rojali dan Rohana. Kedua istilah ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan cerminan adaptasi struktural dalam pola konsumsi masyarakat.
Rojali (Rombongan Jarang Beli) muncul sebagai respons terhadap kenaikan harga komoditas pokok yang tidak diimbangi peningkatan pendapatan. Data BPS menunjukkan gap yang semakin lebar antara pertumbuhan upah riil (1,3%) dan inflasi (5,2%). Sementara Rohana (Rombongan Hanya Coba) berkembang di kalangan generasi muda urban yang tetap ingin mempertahankan gaya hidup meski dengan daya beli terbatas.
Di pasar tradisional, pola Rojali terlihat dari:
– Penurunan frekuensi belanja dari 3-4 kali menjadi 1-2 kali seminggu
– Pengurangan volume pembelian per transaksi
– Beralih ke produk substitusi yang lebih murah
Sedangkan di ritel modern, perilaku Rohana ditandai oleh:
– Peningkatan foot traffic mal sebesar 15% tanpa diikuti transaksi
– Tren “window shopping” digital melalui e-commerce
– Eksploitasi fasilitas gratis seperti WiFi dan area bersantai
Fenomena ini memberikan efek domino pada:
1. Sektor UMKM: 42% pelaku usaha melaporkan penurunan omzet 30-50%
2. Pasar Tenaga Kerja: Munculnya pekerjaan sampingan berbasis gig economy
3. Sistem Keuangan: Pertumbuhan fintech lending sebesar 25% YoY
4. Pembangunan: Penurunan PDRB sektor ritel di berbagai daerah
Fenomena Rojali dan Rohana menjadi penanda penting transisi ekonomi Indonesia menuju era baru yang menuntut adaptasi semua pemangku kepentingan, dari level rumah tangga hingga pembuat kebijakan.(*)