Tron: Ares – Visual Memukau yang Sayangnya Kehilangan Jiwa

Foto: Cuplikan Visual Film Tron : Ares. (Dok : Disney)

Film, Sketsa.id – Selamat datang di dunia digital yang dulu hanya ada dalam imajinasi para programmer dan gamer! Dunia tempat kode adalah nyawa, program adalah kehidupan, dan setiap pixel punya cerita.

Setelah penantian panjang lebih dari empat dekade, waralaba legendaris Tron akhirnya kembali dengan sekuel ketiga yang bertajuk Tron: Ares. Film yang disutradarai Joachim Rønning ini membawa kita kembali ke dunia digital yang memesona, tempat dua raksasa teknologi—ENCOM dan Dillinger System—berlomba menciptakan terobosan terbaru.

Namun di balik kemewahan visual dan teknologi canggih yang ditawarkan, Tron: Ares justru kehilangan esensi yang dulu membuat waralaba ini begitu istimewa. Seperti program komputer yang kehilangan kode utamanya, film ini terasa hampa dan tanpa jiwa.

Cerita Ambisius yang Terjebak dalam Teknis

Kisah Tron: Ares bermula dari Julian Dillinger (Evan Peters), cucu dari antagonis klasik Ed Dillinger, yang berhasil menciptakan laser mutakhir. Teknologi ini mampu memproyeksikan program komputer ke dunia nyata melalui printer 3D canggih. Dari sinilah lahir Ares (Jared Leto), program keamanan yang bisa menjelma menjadi manusia hidup—meski hanya bertahan 29 menit sebelum hancur menjadi debu.

Obsesi Julian untuk menemukan “Permanence Code“—kode legendaris yang bisa membuat ciptaannya abadi—menjadi inti konflik film. Di sisi lain, ada Eve Kim (Greta Lee), CEO ENCOM yang juga memburu kode sama, namun dengan niat mulia untuk menciptakan sumber pangan dan mengatasi kelaparan dunia.

Sayangnya, ide cerita yang menjanjikan ini tenggelam dalam penjelasan teknis yang berlebihan. Alih-alih menyentuh hati, film justru lebih mirip presentasi sains yang membuat penonton sibuk memahami logika ilmiah ketimbang terhubung secara emosional dengan para karakternya.

Kekuatan Visual dan Musik yang Menyelamatkan

Meski lemah di sisi cerita, Tron: Ares tetap memukau dari segi visual. Joachim Rønning berhasil membawa estetika neon khas Tron ke level yang lebih tinggi. Dunia digital yang diciptakan terasa hidup dan nyata, dengan detail yang memanjakan mata.

Adegan balapan Light Cycle yang kini terjadi di dunia nyata menjadi salah satu momen terbaik film. Koreografi yang menegangkan dipadukan dengan efek visual brilian berhasil membangkitkan nostalgia sekaligus menawarkan sensasi baru.

Tak kalah mengesankan adalah soundtrack garapan Nine Inch Nails. Alunan musik elektronik yang intens berhasil memberi jiwa pada adegan-adegan yang secara emosional terasa datar. Banyak penggemar bahkan berpendapat bahwa soundtrack ini bisa dinikmati terpisah dan justru lebih “hidup” daripada filmnya sendiri.

Performasi Aktor yang Tidak Merata

Jared Leto sebagai Ares menghadirkan karakter yang dingin dan misterius dengan gaya khasnya. Sayangnya, penampilannya terasa kurang membumi. Ares seharusnya menjadi simbol pencarian identitas, namun Leto gagal menampilkan kedalaman emosional yang diperlukan.

Di sisi lain, Jodie Turner-Smith sebagai Athena justru berhasil mencuri perhatian. Sebagai program lain yang sering diproyeksikan ke dunia nyata, Athena digambarkan sebagai karakter yang agresif dan tegas, menolak segala bentuk keraguan. Dalam dirinya, kita justru menemukan konflik moral yang lebih menarik daripada karakter utama.

Sayangnya, karakter pendukung seperti Eve Kim (Greta Lee) dan Julian Dillinger (Evan Peters) tidak mendapatkan pengembangan yang memadai. Eve terlalu datar, sementara Julian terasa seperti karikatur “techbro” yang klise.

Pesan yang Tidak Mengena di Era AI

Di tengah maraknya perkembangan kecerdasan buatan saat ini, Tron: Ares seharusnya bisa menjadi medium refleksi yang tepat. Sayangnya, film ini justru gagal mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang hubungan manusia dan mesin.

Pesan yang dibawa terasa usang dan tidak cukup berani untuk mengkritik realitas dunia modern. Ketika Ares mulai menyadari bahwa dirinya hanyalah alat, momen refleksi itu datang terlalu terlambat dan terasa dangkal.

Kehadiran Jeff Bridges sebagai Kevin Flynn memang memberi sentuhan nostalgia, namun tidak cukup untuk menutupi kedalaman naratif yang kurang.

Verdict: Pesta Visual yang Kehilangan Jiwa

Secara keseluruhan, Tron: Ares adalah tontonan visual yang memukau namun miskin makna. Film ini berhasil menghidupkan kembali dunia Tron dengan teknologi sinematografi modern, namun gagal menangkap esensi filosofis yang dulu menjadi kekuatan waralaba ini.

Bagi penggemar lama, film ini tetap layak ditonton untuk nostalgia. Namun bagi yang mencari kedalaman cerita dan karakter, Tron: Ares mungkin akan terasa seperti program komputer yang canggih namun tanpa jiwa. (*)