Internasional, Sketsa.id – Setelah lebih dari dua dekade melayani rute penerbangan di kawasan Asia Tenggara, Jetstar Asia resmi menghentikan seluruh operasionalnya. Maskapai berbiaya rendah yang berbasis di Singapura ini mengakhiri perjalanannya dengan penerbangan terakhir bernomor 3K685 dari Bandara Changi menuju Kuala Lumpur.
Momen perpisahan itu menjadi hari yang penuh emosi bagi para kru dan staf darat yang telah lama mengabdi. Di terminal keberangkatan, sejumlah pegawai berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir kepada rekan-rekan mereka yang terlibat dalam penerbangan terakhir Jetstar Asia.Tidak sedikit yang menahan air mata, menyadari bahwa hari itu menjadi penutup dari satu bab panjang dalam hidup mereka.
Jocelyn Chow, pramugari senior berusia 61 tahun yang telah terbang bersama Jetstar Asia selama 13 tahun, mengungkapkan rasa tak percayanya. Ia ingin penerbangan terakhirnya menjadi yang terbaik, bahkan menganggapnya mungkin sebagai akhir dari kariernya di udara.
Pramugari lainnya, Flora Foo, yang telah 14 tahun meniti karier di maskapai yang sama, mengenang hubungan personal yang terjalin antara kru dan penumpang. Baginya, pekerjaan ini lebih dari sekadar mengantar orang dari satu tempat ke tempat lain—hal-hal kecil seperti ucapan terima kasih dari penumpang selalu menjadi penguat semangat.
Sebagai bentuk penghormatan terakhir, para staf Bandara Changi berdiri berbaris di sepanjang landasan pacu dan melambaikan tangan saat pesawat terakhir Jetstar Asia lepas landas. Sebuah perpisahan yang sederhana namun menyentuh, menandai berakhirnya layanan dari maskapai yang selama bertahun-tahun menjadi bagian dari keseharian penumpang regional.
Penutupan operasional Jetstar Asia sebenarnya telah diumumkan sejak Juni 2025 sebagai bagian dari langkah restrukturisasi yang dilakukan oleh grup Qantas selaku induk usaha. Qantas memilih untuk memusatkan bisnisnya pada dua entitas lain, yaitu Jetstar Airways di Australia dan Selandia Baru, serta Jetstar Japan.
Keputusan ini berdampak langsung pada sekitar 500 karyawan Jetstar Asia yang terpaksa harus meninggalkan pekerjaannya. Meski begitu, CEO Jetstar Asia, John Simeone, menyampaikan bahwa lebih dari separuh dari sekitar 900 lamaran kerja yang diajukan oleh para staf telah menerima tawaran atau undangan wawancara.
Beberapa di antaranya bahkan sudah diterima di sektor pariwisata dan layanan bandara, termasuk lounge Bandara Changi. Simeone tetap optimistis bahwa semua staf yang terdampak akan menemukan tempat yang layak di industri lain.
Akhir dari Jetstar Asia bukan hanya tentang penutupan sebuah perusahaan, tetapi juga penanda dari dinamika industri penerbangan yang terus berubah. Bagi mereka yang pernah terbang bersama atau menjadi bagian dari maskapai ini, kenangan akan tetap hidup, seperti penerbangan malam itu yang perlahan menghilang di langit, membawa serta dua puluh tahun perjalanan yang tak terlupakan.(*)