Kepala Bandara Haluoleo Hapus Paksa Materi Jurnalis, IJTI Sultra: Tindakan Ini Melanggar UU Pers

Foto: ist

Kendari, Sketsa.id – Tindakan otoritas Bandara Haluoleo Kendari yang memaksa menghapus materi liputan jurnalis menuai kecaman keras dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulawesi Tenggara. Insiden ini terjadi pada Jumat pagi, 8 Agustus 2025, ketika seorang jurnalis Antara, La Ode Muh Deden Saputra, sedang meliput keberangkatan rombongan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengawal empat tersangka hasil operasi tangkap tangan (OTT) di Kolaka Timur. Tindakan tersebut dinilai sebagai pelanggaran serius terhadap kemerdekaan pers yang dijamin undang-undang.

Kejadian tersebut bermula sekitar pukul 06.20 WITA di area check-in Bandara Haluoleo, sebuah wilayah yang seharusnya terbuka untuk umum. Deden, yang tengah menjalankan tugas jurnalistiknya, mengabadikan momen rombongan KPK memasuki area tersebut.

Namun, aktivitasnya tiba-tiba dihentikan oleh teguran dari seseorang yang mengenakan rompi merah, yang kemudian diketahui sebagai Kepala Bandara Haluoleo, Denny Arianto. Meski sempat diperingatkan, Deden tetap melanjutkan pengambilan gambar, sebagaimana haknya sebagai jurnalis yang sedang bertugas.

Tak lama setelah itu, sejumlah petugas bandara, atas perintah Denny Arianto, mendatangi Deden. Mereka melarangnya merekam dengan alasan bahwa area check-in merupakan “daerah sensitif.” Lebih jauh, petugas memaksa Deden untuk membuka ponselnya dan menghapus video yang telah direkam. Proses penghapusan dilakukan di bawah tekanan, disaksikan oleh banyak orang di lokasi, dan bahkan ponsel Deden diperiksa kembali untuk memastikan tidak ada rekaman yang tersisa.

Menurut Deden, tindakan ini diduga atas permintaan KPK agar tidak ada dokumentasi visual terkait keberangkatan rombongan mereka bersama tersangka OTT.

IJTI Sultra menegaskan bahwa area check-in bandara adalah ruang publik, di mana siapa pun, termasuk jurnalis, berhak melakukan dokumentasi. Menghalangi atau menghapus materi liputan jurnalis adalah tindakan yang tidak hanya melanggar etika, tetapi juga hukum.

Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, kemerdekaan pers merupakan hak asasi warga negara, dan pers nasional memiliki hak untuk mencari, memperoleh, serta menyebarluaskan informasi tanpa sensor atau larangan.

Lebih lanjut, Pasal 18 ayat (1) UU Pers menyebutkan bahwa menghalangi kerja jurnalis adalah tindak pidana yang dapat dihukum penjara hingga dua tahun atau denda hingga Rp500 juta.

Dengan tegas, IJTI Sultra mengutuk tindakan Kepala Bandara Haluoleo dan jajarannya. Organisasi ini menuntut pengelola bandara dan KPK memberikan penjelasan resmi serta meminta maaf secara terbuka atas insiden tersebut. IJTI juga mendesak Kementerian Perhubungan, Angkasa Pura I, KPK, dan Dewan Pers untuk segera menginvestigasi kasus ini agar kejadian serupa tidak terulang.

Selain itu, IJTI mengingatkan semua pihak, termasuk aparat negara, untuk menghormati kerja jurnalistik dan tidak menghambatnya dengan alasan yang tidak berdasar. Jurnalis juga diimbau untuk tetap mematuhi kode etik profesi dan UU Pers, serta melaporkan setiap bentuk intimidasi kepada organisasi profesi atau Dewan Pers.

Saharuddin, Ketua IJTI Sultra, menegaskan bahwa tindakan semacam ini tidak boleh dibiarkan.

“Kami meminta keadilan untuk rekan jurnalis yang telah menjalankan tugasnya dengan profesional. Kebebasan pers adalah pilar demokrasi yang harus dijaga bersama,” ujarnya.

IJTI Sultra juga menyediakan narahubung untuk informasi lebih lanjut, yakni Saharuddin (085397777950) dan Fadli Aksar, Koordinator Divisi Hukum dan Advokasi IJTI Sultra (085394687368). (*)