Lutung Kutai: Sang “Drakula” Misterius yang Bertahan Berkat Kearifan Lokal

Senin, 1 Desember 2025 - 14:59 WITA
Bagikan:
Foto : Lutung Kutai (Presbytis canicrus) (Ist)

Hutan Lindung Wehea, Kutai Timur – Di kedalaman hutan hujan Kalimantan, seekor primata langka dengan “jubah” putih keabuan melompat di antara kanopi. Ia adalah Lutung Kutai (Presbytis canicrus), spesies yang sempat dianggap hilang dan nyaris punah, namun kini menjadi simbol harapan konservasi berbasis masyarakat adat.

Primata endemik Kalimantan Timur ini mendapat julukan unik “Lutung Drakula” dari para peneliti dan jurnalis lokal. “Ciri khas fisiknya, yaitu warna putih atau abu-abu yang sangat dominan di leher hingga dada, membuatnya terlihat seperti mengenakan jubah drakula klasik,” jelas Awaluddin Jalil, jurnalis Kaltim yang pernah mengikuti survei satwa ini.

Penemuan Kembali Setelah Puluhan Tahun “Hilang”

Lutung Kutai sempat menghilang dari peradaran ilmu pengetahuan selama puluhan tahun. Ancaman utama yang diduga menyebabkan penurunan populasi drastis adalah kebakaran hutan besar-basaran di masa lalu. Spesies ini hampir dinyatakan punah sebelum akhirnya terdeteksi kembali melalui kamera jebak (camera trap) di Hutan Lindung Wehea, Kabupaten Kutai Timur, pada 2012.

“Penemuan pertama secara ilmiah tercatat tahun 2012, meskipun masyarakat lokal sebenarnya sudah lama mengenalinya,” ungkap M. Arif Rifqi, Spesialis Spesies Terancam Punah dari Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), dalam wawancara eksklusif di lokasi sepan (salt lick) tempat satwa mencari mineral.

Status Konservasi yang Mengkhawatirkan

Meskipun secara global dikategorikan Endangered (Terancam Punah) oleh IUCN, Lutung Kutai menghadapi paradoks perlindungan. Spesies ini belum masuk dalam daftar satwa dilindungi oleh peraturan Indonesia (Peraturan Menteri LHK No. P.20/2018).

“Pada saat penyusunan peraturan tahun 2018, mungkin belum ada data sains yang memadai tentang spesies ini. Dia tidak ter-update dari konferensi primata internasional 2014 yang sudah menetapkannya sebagai spesies terpisah dari Presbytis hosei,” jelas Arif Rifqi.

Saat ini, populasi Lutung Kutai hanya tercatat di tiga lokasi terbatas: Hutan Lindung Wehea, Taman Nasional Kutai (TNK), dan sebagian kawasan konsesi perusahaan di bentang alam Sangkulirang-Mangkalihat.

Tantangan Penelitian Primata “Hantu”

Meneliti Lutung Kutai bukan pekerjaan mudah. “Belum banyak pengetahuan tentang ekologi dan perilaku primata ini. Perjumpaan langsung selain melalui kamera trap sangat jarang,” tambah Arif Rifqi.

Beberapa faktor membuat penelitian sulit:

  1. Sensitif terhadap kehadiran manusia
  2. Belum berhasil dihabituasi (dibiasakan dengan peneliti)
  3. Kesulitan mengidentifikasi karena mirip dengan lutung jenis lain
  4. Minimnya peneliti yang fokus pada spesies ini

“Metodologi survei yang tepat belum sepenuhnya tersedia, dan memang belum banyak yang mau melakukan penelitian mendalam,” ujarnya.

Benteng Terakhir: Kearifan Lokal Suku Dayak Wehea

Kisah sukses konservasi Lutung Kutai justru datang dari pengelolaan hutan berbasis adat. Suku Dayak Wehea secara aktif menjaga Hutan Lindung Wehea sejak 2004 melalui sistem patroli dan hukum adat.

Edy Sudiono, Manajer Kemitraan Program Terestrial YKAN, menegaskan: “Masyarakat adat adalah benteng terakhir dalam pengelolaan hutan. Hutan Lindung Wehea menjadi model nasional yang diikuti daerah lain seperti Jambi dan Kalimantan Tengah.”

Keberhasilan model ini terlihat nyata:

  • Aktivitas ilegal (penebangan, pertambangan) berhasil dihentikan
  • Tajuk hutan semakin menyatu dan tinggi
  • Kondisi ekosistem membaik dengan sungai yang tetap jernih
  • Keanekaragaman hayati meningkat signifikan

Ancaman di Balik Perlindungan Adat

Meski kondisi saat ini relatif stabil, ancaman tetap mengintai. “Kedepan, semua kawasan hutan pasti menghadapi tantangan. Kita harus tetap mendampingi masyarakat adat,” tegas Edy Sudiono.

Khususnya untuk Lutung Kutai yang hidup di kawasan konsesi, nasibnya bergantung pada komitmen perusahaan. “Daerah sepan (salt lick) termasuk dalam HCV (High Conservation Value) 1.3 karena terdapat spesies terancam. Selama perusahaan aktif mengelola dengan baik, relatif terjaga. Jika tidak, ceritanya bisa berbeda,” papar Arif Rifqi.

Panggilan untuk Aksi

Penemuan kembali Lutung Kutai mengajarkan tiga pelajaran penting:

  1. Kearifan lokal efektif melindungi keanekaragaman hayati
  2. Perlu kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, peneliti, dan swasta
  3. Perlu revisi regulasi perlindungan satwa berdasarkan data terbaru

“Jenis yang tidak banyak diketahui itu, kekhawatirannya statusnya lebih terancam dari yang kita perkirakan,” tutup Arif Rifqi.

Dengan hanya tersisa di beberapa kantong habitat terakhir, nasib “Drakula” Kalimantan ini bergantung pada komitmen kita semua untuk menjaga hutan sebagai rumah terakhirnya. (*)

Bagikan:

Forum Aksi Rakyat Kaltim Dirikan Posko Tenda Protes, Tuntut Keadilan Dana Bagi Hasil