Osaka, Sketsa.id – Di balik sorak sorai kemenangan telak yang tercipta di Suita City Stadium, ada satu suara yang mencuri perhatian. Bukan dari tribun, bukan pula dari barisan pemain Jepang—tapi dari sang nahkoda, Hajime Moriyasu.
Jepang baru saja mengukir kemenangan gemilang. Enam gol tanpa balas bersarang di gawang Timnas Indonesia dalam laga terakhir Grup C, putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia, Selasa (10/6/2025). Namun alih-alih larut dalam euforia, Moriyasu memilih tetap membumi.
“Kami menang bukan karena lawan lemah. Kami menang karena para pemain kami terus berusaha tumbuh, setiap hari,” tutur Moriyasu dengan nada tenang, dikutip dari Gekisaka, Rabu (11/6/2025).
Kemenangan besar ini memang pantas dirayakan. Jepang tampil nyaris tanpa cela, menunjukkan permainan kolektif, cepat, dan penuh determinasi. Gol-gol mereka datang silih berganti: Daichi Kamada mencetak dua (15’ dan 45+6’), disusul Takefusa Kubo (19’), Ryoya Morishita (55’), Shuto Machino (58’), dan Mao Hosoya (80’). Indonesia pun tak mampu melepaskan satu pun tembakan ke arah gawang. Tapi, bagi Moriyasu, kemenangan ini bukan sekadar soal angka.
Ia lebih melihat hasil ini sebagai cerminan dari proses panjang, dari kerja keras yang tak terlihat kamera, dari tekad yang tak pernah padam di setiap sesi latihan.
Meski secara kualitas dan pengalaman Jepang berada beberapa level di atas, Moriyasu menegaskan bahwa timnya tidak pernah meremehkan lawan. Bahkan ketika Indonesia menurunkan beberapa pemain berbeda, sikap hormat tetap dijaga.
“Yang jadi pembeda bukan pergantian pemain dari lawan, tapi bagaimana pemain kami bekerja keras dan tampil profesional,” katanya.
Di balik kalimat sederhana itu, tersirat filosofi kuat: di sepak bola, sikap bisa jadi sama pentingnya dengan taktik.
Meski kemenangan ini mengukuhkan Jepang sebagai penguasa Grup C dan mengamankan tiket ke Piala Dunia 2026, Moriyasu enggan berpuas diri. Ia menyebut masih banyak ruang untuk berkembang—baik secara teknis, taktis, maupun mentalitas.
“Kami harus terus belajar. Tidak cukup hanya menjadi yang terbaik di Asia, kami ingin menjadi lebih kompetitif di panggung dunia,” tegas pelatih berusia 56 tahun itu.
Sementara Jepang berpesta, Indonesia pulang dengan kepala tertunduk. Tapi dalam sepak bola, kalah bukan berarti kalah segalanya. Justru dari kekalahan besar inilah sering lahir tekad untuk tumbuh lebih kuat.
Kemenangan Jepang adalah pelajaran bagi siapa pun: bahwa kedisiplinan, proses, dan kerendahan hati bisa membawa tim ke puncak. Dan bagi Indonesia, mungkin ini bukan akhir—melainkan awal dari perjalanan baru menuju level yang lebih tinggi. (*)