Samarinda, Sketsa.id – Bagi sebagian orang, Agustus adalah bulan meriah. Bendera berkibar di depan rumah, lomba-lomba rakyat kembali digelar, dan semua orang larut dalam suasana kemerdekaan. Namun, di Samarinda, sekelompok anak muda justru memilih cara berbeda untuk menyambut 17 Agustus.
Dengan membentangkan spanduk merah bertuliskan “Merdeka dari Krisis Iklim” di atas jembatan layang, mereka ingin mengingatkan publik: bahwa kemerdekaan sejati belum benar-benar dirasakan, khususnya di Kalimantan Timur.
XR Bunga Terung Kaltim, komunitas yang bergerak dalam isu lingkungan, menilai transisi energi yang digaungkan pemerintah justru penuh kepalsuan. Target penggunaan energi terbarukan sering kali berhenti pada angka dan dokumen resmi, sementara praktiknya masih menjerat pada energi kotor seperti PLTU.
“Fakta di lapangan, penggunaan PLTS di Kaltim tidak berjalan mulus. Masih bergantung pada PLTU, dan bahkan pemanfaatan energi surya malah memperpanjang rantai ekstraktivisme di Kaltim,” begitu salah satu pernyataan tertulis mereka.
Kalimantan Timur, yang sering digadang sebagai paru-paru nusantara, justru menjadi provinsi dengan tingkat deforestasi tertinggi di Indonesia pada 2024. Bekas-bekas lubang tambang dibiarkan menganga, meracuni sungai, sementara perusahaan masih leluasa menambang sumber daya alam tanpa rekonstruksi ekologis yang jelas.
“Merdeka 80 tahun, tapi Kaltim belum merdeka dari transisi energi palsu. Kami menuntut penghentian energi kotor, pemulihan lubang tambang, dan perlindungan hutan yang tersisa,” seruan XR Bunga Terung Kaltim menutup aksinya.
Mereka percaya, kemerdekaan bukan hanya soal bendera dan upacara, tetapi juga soal udara yang bersih, sungai yang sehat, dan bumi yang layak diwariskan.(*)