Sketsa.id – Empat tahun setelah Finney Blake selamat dari cengkeraman The Grabber yang mengerikan, trauma masih membayangi keluarga kecil itu. ‘The Black Phone 2′, sekuel horor dari Scott Derrickson yang tayang perdana di Fantastic Fest 2025, membawa kita kembali ke dunia gelap Joe Hill—putra Stephen King—dengan sentuhan supernatural yang lebih kuat. Bukan sekadar lanjutan cerita, film ini berubah menjadi homage ke ‘A Nightmare on Elm Street‘, di mana The Grabber (Ethan Hawke) bangkit dari kematian sebagai mimpi buruk yang tak terlupakan.
Plot yang Menggali Luka Lama
Dibintangi Mason Thames sebagai Finney yang kini berusia 17 tahun, cerita dimulai di tahun 1982. Finney bergulat dengan PTSD parah: isolasi, kemarahan, dan ketergantungan ganja untuk melupakan masa lalu. Adiknya, Gwen (Madeleine McGraw), menjadi pusat narasi kali ini. Gadis berbakat psikis itu mulai menerima panggilan misterius dari telepon hitam dalam mimpi, disertai visi mengerikan tentang tiga anak laki-laki yang diburu di kamp musim dingin Alpine Lake.
Saudara kandung ini, dibantu ayah mereka Terrance (Jeremy Davies) yang sedang berjuang pulih dari alkoholisme, menyelami misteri tersebut. Visi Gwen mengungkap legenda lokal tentang danau beku yang menyimpan rahasia korban The Grabber. Pengaruh supernatural semakin kuat: telepon hitam kini menghubungkan dunia nyata dengan alam mimpi, di mana The Grabber—dalam wujud hantu yang membusuk—mengintai dari balik kabut salju. Durasi 114 menit terasa pas untuk membangun ketegangan, meski bagian tengah agak lambat dengan penjelasan yang terlalu eksplisit.
Horor yang Dingin dan Berani
Derrickson, yang juga menulis skenario bareng C. Robert Cargill, berhasil mengubah formula horor anak-anak menjadi sesuatu yang lebih dewasa dan berdarah-darah. Latar salju di pegunungan Colorado menciptakan isolasi yang mencekam—salju yang seharusnya menenangkan justru memperkuat rasa dingin di tulang punggung. Adegan klimaks di atas es, penuh gore dan imajinasi liar, adalah puncaknya: bayangkan Freddy Krueger bertemu ritual pagan kuno, dengan The Grabber yang kini seperti setan tak terkalahkan.
Visualnya memukau. Penggunaan Super 8 untuk urutan mimpi Gwen memberikan tekstur analog era 80-an yang nostalgik sekaligus menyeramkan, seperti film rumahan yang dirasuki iblis. Sound design juga brilian: dering telepon hitam bergema seperti jeritan dari kubur, sementara suara angin salju menambah lapisan paranoia. Tapi, bukan tanpa cela—beberapa lompatan plot terasa dipaksakan, dan Finney kurang dieksplorasi dibanding Gwen, membuat karakternya agak datar.
Madeleine McGraw mencuri perhatian sebagai Gwen: gadis tangguh yang visioner-nya bukan kutukan, tapi senjata. Penampilannya matang, membawa emosi mentah yang membuat penonton ikut merinding. Mason Thames solid sebagai Finney yang rusak, meski bayang-bayang Hawke mendominasi. Ethan Hawke kembali sebagai The Grabber dengan pilihan akting gila-gilaan: suara serak, gerak aneh, dan makeup membusuk yang tak terlupakan—ia seperti Freddy Krueger versi Amerika modern. Pendukung seperti Demián Bichir dan Jeremy Davies menambah kedalaman emosional, terutama dalam tema penyembuhan keluarga.
Mengapa Harus Ditonton?
Di tengah banjir sekuel horor yang malas, ‘The Black Phone 2‘ menonjol karena keberaniannya: bukan cash-grab, tapi eksplorasi trauma yang tulus, campur aduk antara ketakutan supernatural dan harapan penyembuhan.Ini horor yang “messed up” tapi bermakna, mengingatkan bahwa luka masa lalu bisa jadi panggilan untuk bertarung.Rated R untuk kekerasan dan bahasa kasar, cocok bagi penggemar ‘Sinister‘ atau ‘Hereditary‘.