Samarinda, Sketsa.id – Kalau rakyat biasa nanya soal gaji, biasa aja. Tapi kalau wartawan nanya soal tunjangan dewan yang capai Rp52 miliar? Wah, langsung dicap “tidak etis” oleh sang petinggi dewan.
Usai Rapat Paripurna DPRD Kaltim, Jumat (12/9/2025), Ketua DPRD Kaltim Hasanuddin Mas’ud kedapatan sedang tidak mood untuk urusan transparansi. Ketika ditanya wartawan soal besaran tunjangan mewah yang sedang jadi sorotan, dia hanya melengos: “Aduh, ndak etis lah nanya tunjangan”.
Ah, salah memang. Lupa bahwa di negeri ini, bertanya tentang uang rakyat yang dikelola para wakil rakyat adalah tindakan yang tidak sopan.
Sorotan pada tunjangan dewan bukan tanpa alasan. Di saat rakyat menjerit akibat inflasi dan harga sembako yang tak karuan, para wakilnya justru menikmati tunjangan perumahan dan transportasi yang totalnya mencapai Rp52,2 miliar per tahun.
Sebuah angka yang cukup untuk membiayai program sosial bagi puluhan ribu keluarga miskin. Sejak awal September, Pokja 30 sudah membongkar kemewahan ini. Tunjangan perumahan saja mencapai Rp30 juta per bulan per anggota. Dengan 50 anggota dewan, itu berarti Rp18 miliar setahun hanya untuk membiayai tempat tinggal mereka yang sudah pasti tidak melarat.
Bayangkan: rakyat harus kerja bertahun-tapa untuk beli rumah, sementara para wakilnya cukup tanda tangan untuk dapat tunjangan perumahan yang cukup buat beli mobil mewah setiap bulannya.
Dr. Andi Rahman, pengamat politik Unmul, menyebut angka ini “tidak masuk akal“. Tapi tampaknya, logika rakyat kecil memang sudah lama tidak berlaku di gedung mewah DPRD Kaltim. Yang lucu, alasan Hasanuddin menolak menjawab justru menggelitik: “Saya takut salah bicara, nanti dipelintir lagi.”
Padahal, dalam kesempatan lain dia sendiri mengaku tidak tahu pasti berapa sebenarnya tunjangan yang dia terima. Entah karena terlalu banyak sampai lupa, atau memang sengaja tidak mau tahu agar bisa tidur nyenyak. Yang lebih menggelitik lagi, kabarnya ada pemotongan tunjangan oleh fraksi.
Jadi sementara rakyat diminta efisien, uang rakyat justru diedarkan untuk kepentingan politik. Sungguh sebuah ironi yang sempurna.
Jawaban “tidak etis” dari Ketua DPRD Kaltim ini mungkin adalah contoh terbaik bagaimana sebagian elite kita memandang transparansi.
Uang rakyat boleh diambil, tapi pertanyaan tentang penggunaannya dianggap tabu. Mungkin sudah waktunya kita mengingatkan: uang yang dibelanjakan untuk tunjangan mewah itu adalah uang rakyat. Dan rakyat berhak tahu setiap rupiah yang dikeluarkan.
Atau jangan-jangan, memang ada sesuatu yang disembunyikan sehingga pertanyaan sederhana pun langsung dicap “tidak etis“?. (*)