Jakarta, Sketsa.id – Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan garis kemiskinan nasional Rp595.242 per bulan atau sekitar Rp19.841 per hari. Artinya, siapa pun dengan pengeluaran di atas Rp20.000 per hari tidak dianggap miskin.
Namun, angka ini dinilai tak realistis karena biaya hidup di Indonesia sangat bervariasi. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, baru-baru ini mendesak revisi garis kemiskinan agar sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat.
Rp20.000: Cukup untuk Apa?
BPS menghitung garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan makanan (2.100 kilokalori per hari) dan non-makanan seperti perumahan dan transportasi. Tapi, Rp20.000 per hari hanya cukup untuk makan sederhana seperti nasi dan lauk murah.
Biaya kos, transportasi, listrik, atau obat-obatan sering tak terjangkau, terutama di kota besar.Biaya hidup berbeda di setiap wilayah:
- Jakarta: Garis kemiskinan Rp846.085/bulan (~Rp28.202/hari). Sewa kos Rp700.000–Rp2 juta, makan sekali Rp15.000–Rp25.000.
- Surabaya: Garis kemiskinan Rp650.000/bulan (~Rp21.667/hari). Biaya hidup keluarga Rp13,35 juta/bulan.
- Cilacap: Garis kemiskinan Rp494.697/bulan (~Rp16.490/hari). Biaya hidup lebih murah, tapi upah minimum hanya Rp2,64 juta.
- Maumere, NTT: Biaya hidup Rp5,52 juta/bulan untuk keluarga, tapi akses kesehatan dan barang mahal.
- Papua Pegunungan: Garis kemiskinan Rp1,08 juta/bulan (~Rp36.000/hari), tertinggi di Indonesia.
“Rp20.000 cuma cukup buat makan seadanya. Kalau di kota, mana bisa bayar kos atau transportasi?” ujar Sari, pekerja di Sumenep, Jawa Timur.
Luhut: Garis Kemiskinan Harus Diperbarui
Luhut menilai Rp20.000 per hari tak lagi relevan.
“Standar ini harus direvisi. Kita harus realistis, biaya hidup sekarang jauh lebih tinggi,” katanya.
Ia meminta BPS memasukkan kebutuhan modern seperti makanan jadi dan internet dalam perhitungan.Ekonom Arief Anshory Yusuf dari Universitas Padjadjaran setuju.
Menurutnya, garis kemiskinan saat ini tak mencerminkan kebutuhan riil, terutama di kota.
“Banyak yang tak miskin di atas kertas, tapi hidupnya sulit,” ujarnya.
Ketimpangan Ekonomi Makin Lebar
Ketimpangan di Indonesia mencolok. Kekayaan empat orang terkaya setara harta 100 juta penduduk, menurut Oxfam. Bank Dunia menyebut 194,4 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan internasional (US$8,30 PPP/hari), jauh lebih banyak dari 24,06 juta jiwa miskin versi BPS. Sekitar 68,51 juta lainnya “rentan miskin,” mudah jatuh miskin jika harga naik atau kehilangan kerja.
Solusi ke Depan
Untuk atasi ketimpangan biaya hidup, beberapa langkah diusulkan:
Revisi Garis Kemiskinan: Perbarui komoditas, termasuk makanan jadi dan internet.
Sesuaikan Wilayah: Bedakan standar kota dan desa.
Naikkan Upah Minimum: Upah harus cukup untuk hidup layak, misalnya Rp15 juta/bulan di Jakarta.
Stabilkan Harga: Jaga harga kebutuhan pokok dan tingkatkan akses kesehatan di daerah terpencil.
Harapan Baru
Pernyataan Luhut jadi sinyal pemerintah akan memperbaiki standar kemiskinan. Tapi, revisi saja tak cukup. Kebijakan bansos, upah layak, dan akses layanan dasar harus menjangkau semua wilayah, dari Jakarta hingga Papua. Rp20.000 per hari bukan lagi standar hidup layak, melainkan sekadar bertahan. Indonesia butuh langkah nyata agar rakyat hidup bermartabat. (*)